Laman

Senin, 20 Juni 2011

Tata Cara Shalat Hajat

Assalamualaikum wr wb...


Sholat Hajat adalah sholat sunnah yang dilakukan karena adanya suatu hajat, keinginan atau keperluan tertentu, baik keperluan yang berhubungan dengan duniawi ataupun ukhrawi. Sholat adalah doa. Ketika seseorang ingin keinginannya dikabulkan oleh Allah swt, maka ia sholat dan berdoa. Sholat Hajat adalah sholat sunnah yang lebih dikhususkan untuk memohon kepada Allah swt agar dikabulkan segala hajat. Allah swt berfirman, “Dan mintalah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan sholat.” (QS. Al Baqarah:45)

Dalam menyempurnakan ikhtiar yang dimaksudkan untuk mencapai suatu keinginan, Insya Allah dengan melakukan sholat Hajat Allah akan mengabulkan doa dan keinginan tersebut. Doa, usaha, ikhtiar, dan tawakal adalah kewajiban umat muslim dalam menyikapi banyaknya tuntutan hidup di dunia. Dalam surat Al Baqarah:45 di atas, selain sholat kita diperintahkan juga untuk sabar. Oleh karena itu, sholat Hajat dan memohon kepada Allah dapat kita lakukan setiap hari dengan khusyuk serta tanpa rasa bosan bila keinginan itu belum dikabulkan. Rasulullah saw bersabda, “Siapa yang berwudhu dan sempurna wudhunya, kemudian sholat dua rakaat (Sholat Hajat) dan sempurna rakaatnya maka Allah berikan apa yang ia pinta cepat atau lambat.” (HR Ahmad)

Waktu sholat Hajat tidak tertentu, namun tidak diperbolehkan mengerjakan sholat Hajat pada waktu yang dilarang seperti setelah sholat Ashar dan setelah sholat Subuh. Sholat Hajat dilakukan sendiri, tidak berjamaah. Banyaknya rakaat dalam sholat Hajat yaitu minimal dua rakaat dan maksimal sebanyak dua belas rakaat. Dalam pelaksanaanya, jika dikerjakan pada malam hari maka setiap dua rakaat sekali salam dan jika dilaksanakan pada siang hari maka boleh empat rakaat dengan sekali salam dan seterusnya.
Berikut ini tata cara sholat Hajat:
• Niat sholat Hajat di dalam hati: Ushollii sunnatal haajati rok’aataini lillaahi ta’aala (“aku niat sholat sunah hajat karena Allah”). Lalu Takbiratul Ihram.
• Membaca doa Iftitah, dilanjutkan dengan surat Al Fatihah kemudian membaca salah satu surat di dalam Al Quran.
• Ruku’ sambil membaca Tasbih tiga kali
• I’tidal sambil membaca bacaannya
• Sujud yang pertama sambil membaca Tasbih tiga kali
• Duduk antara dua sujud sambil membaca bacaannya
• Sujud yang kedua sambil membaca Tasbih tiga kali
• Setelah rakaat pertama selesai, lakukan rakaat kedua sebagaimana cara diatas, kemudian Tasyahhud akhir, setelah selesai maka membaca salam dua kali. Jika dilaksakan sebanyak empat rakaat dengan satu salam maka setelah dua rakaat langsung berdiri tanpa memakai Tasyahhud awal, kemudian lanjutkan rakaat ketiga dan keempat, lalu Tasyhhud akhir setelah selesai membaca salam dua kali.
• Setelah selesai sholat Hajat bacalah dzikir yang mudah dan berdoa sampaikan hajat yang kita inginkan kemudian mohon petunjuk kepada Allah agar tecapai segala hajatnya.
Doa setelah sholat hajat:
“Laa ilaaha illallahul haliimul kariimu subhaaanallahi robbil ‘arsyil ‘azhiim. Alhamdulillahi rabbil ‘aalamiin. As ‘aluka muujibaari rahmatika wa ‘azaaima maghfiratika wal ghaniimata ming kulli birri wassalaamata min kulli itsmin. Laa tada’ lii dzamban illa ghafartahu walaa hamman illaa farajtahu walaa haajatan hiya laka ridhan illa qodhaitahaa yaa arhamar raahimiin.”
Artinya: “Tidak ada Tuhan melainkan Allah Yang Maha Lembut dan Maha Penyantun. Maha Suci Allah, Tuhan pemelihara Arsy yang Maha Agung. Segala puji bagi Allah Tuhan seru sekalian alam. Kepada-Mu-lah aku memohon sesuatu yang mewajibkan rahmat-Mu, dan sesuatu yang mendatangkan ampunan-Mu dan memperoleh keuntungan pada tiap-tiap dosa. Janganlah Engkau biarkan dosa daripada diriku, melainkan Engkau ampuni dan tidak ada sesuatu kepentingan, melainkan Engkau beri jalan keluar, dan tidak pula sesuatu hajat yang mendapat kerelaan-Mu, melainkan Engkau kabulkan. Wahai Tuhan Yang Paling Pengasih dan Penyayang”
**********************************************************************************************
Segala puji bagi Allah yang memiliki sekalian alam. Dengan puji-pujian yang lengkap meliputi akan nikmatNya serta menambahkan karuniaNya
Semoga sholawat dan salam yang sempurna atas Junjungan kita Nabi Muhammad S.a.w dan semoga para keluarga dan sahabatnya sekalian serta yang mengikuti syariatnya sampai pada hari kemudian.

Ketahuilah Sesungguhnya nikmat / pemberian Allah yang paling besar kepada umat manusia adalah nikmat islam dan nikmat iman, karena kedua nikmat itu Allah jadikan sebab manusia bisa masuk surga yang kekal didalamnya, selamat dari siksa api neraka dengan lantaran kita taat beribadah kepada Allah Ta'ala, artinya tanpa IMAN dan ISLAM orang tidak berhak masuk surga.

Dalam kesempatan ini saya akan menuliskan Tata Cara Sholat Hajat semoga bermanfaat bagi kita semua wabil khusus bagi yang belum paham akan Tata Cara Sholat Tahajut.

Adapaun arti dari Hajat adalah Niat atau Keperluan atau keinginan. Kiat sebagai manusia pasti kita mempunyai hajat baik hajat duniawi maupun ukhrowi (akherat) dimana Hajat atau niat tersebut tidak bisa diselaesaikan dengan kekuatan sendiri dan ada saatnya manusia perlu bantuan atau pertoloangan orang dan Allah SWT agar tercapai hajatnya tersebut.

Oleh karena itu disamping kita harus ikhtiar kita juga dianjurkan untuk meminta bantuan dan pertolongan dari tuhan kita, yaitu Allah yang Maha Pengasih dan Penyayang sebagaimana firman Allah dalam surat Albaqoroh ayat 45 yaitu :

yang artinya :
Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu, (QS. 2:45)

Adapun tata cara sholat tahajut ada beberapa macam cara, ada yang dua rekaat dan ada yang dua belas rekaat untuk pembahasa ini kami mengambil keterangan Imam Ghozali antara lain : Barang siapa mempunyai suatu hajat atau keperluan, bail soal agama atau soal dunia tat kala ia mendapat kesulitan, hendaklah ia melakukan sholat hajat.
Wahab Ibnul Ward : yang artinya :Diantara yang tidak ditolak kembali ialah sembahyang 12 rokaat. Dibaca tiap-tiap rakaat ba'da fatihah, yaitu ayatul kursi, dan qulhu. Maka bila selesai sembahyang sesudah salam lalu sujud sekali sujud, maka didalam sujud ini, lalu membca tasbih 10 kali, sholawat 10 kali dan doa sepuluh kali. kemudian berdo'a memohon sesuatu yang menjadi hajatnya. Pada intinya sholat hajad itu dilaksanakan dua rakaat samapi dengan 12 rokaat, dengan tiap-tiap dua rakaat satu salam.

Pelaksanaannya sebagai berikutnya :
1. Jika anda mau melakukan sholat pertama-tama anda berwudhu dengan tertib serta khusuk, kemudian berpakaian rapi dan kita mesti ingat kita mau menghadap Allah Swt.
2. Kemudian setelah anda berdiri dengan tenang, ingat akan kebesaran Tuhan, hilangkan ingatan anda kepada yang lain.
3. Lalu baca niat sebagai berikut : Usholli sunnatal haajati rok'ataini lillahi ta'aala Allahu Akbar
4. baca doa Iftitah :

5. Kemudian Baca Surat Alfatiahah

6. Kemudian memca Ayat kursi

7. Kemudia baca Suroh Al Iklas

8. selanjutnya Rukuk dan seterusnya seperti sholat fardu biasa
9. dan pada rokaat yang kedua kita lakukan seperti pada rokaat pertama tadi.
10. kemidian setelah salam membaca Istighfat 100 kali
11. lalu baca Sholawat Nabi yaitu Allahumma Sholli Alaa Sayyidinaa Muhammaddin wa' alaa aali sayyidinaa muhammad
12. Kemudian baca do'a sebagai berikit :

13. Kemudian bersujud sambil membca tasbih sebanyak 10 kali lalu membaca sholawt 10 kali kemudian membaca doa spu jagad sebanyak 10 kali

14. kemudian berdoalah memohon apa yang dimaksud, sambil bersujud kepada allah dan perbanyaklah membaca Laa ilaaha illa anta subhaanka innii kuntu minazh zhoolimin.

Sholat hajat ini sebaiknya dilaksanakan semalam sampai dengan tiga malam atau tujuh malam, tergantung pada pentingnya serta sulit maksud kita ini, dan Insya Allah hajat kita akan terkabul. Sholat hajat ini boleh dilakukan dua rakaat saja, terserah kita.

Demikian uraian singkat tata cara sholat hajat semoga bermanfaat bagi kita semua, dan semoga hajat kita akan terkabulkan amin amin amin yaarobbal alamin.
Wassalamualaikum wr wb.
Selengkapnya...

Shalat Sunnah Yang Sangat Bermanfaat ^^


Assalamualikum wr wb...

Shalat Sunnah Yang Bagus untuk dikerjakan, Subhanalllah..


Shalat Taubat


Shalat Taubat ini disunnahkan menurut kesepakatan para ulama empat madzhab, berdasarkan apa yang diriwayatkan oleh Abu Daud, Nasai, Ibnu Majah, Baihaqi dan Tirmidzi yang mengatakan hadits hasan dari Abu Bakar berkata,”Aku mendengar Rasulullah saw bersabda,”Tidaklah seseorang melakukan suatu dosa lalu dia berdiri untuk bersuci (berwudhu) kemudian melakukan shalat—dua rakaat—kemudian memohon ampun kepada Allah kecuali Dia swt akan memberikan ampunan padanya.”

Kemudian beliau saw membaca ayat :

وَالَّذِينَ إِذَا فَعَلُواْ فَاحِشَةً أَوْ ظَلَمُواْ أَنْفُسَهُمْ ذَكَرُواْ اللّهَ فَاسْتَغْفَرُواْ لِذُنُوبِهِمْ وَمَن يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلاَّ اللّهُ وَلَمْ يُصِرُّواْ عَلَى مَا فَعَلُواْ وَهُمْ يَعْلَمُونَ ﴿١٣٥﴾
أُوْلَئِكَ جَزَآؤُهُم مَّغْفِرَةٌ مِّن رَّبِّهِمْ وَجَنَّاتٌ تَجْرِي مِن تَحْتِهَا الأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا وَنِعْمَ أَجْرُ الْعَامِلِينَ ﴿١٣٦﴾

Artinya : “Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari pada Allah? dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka Mengetahui. Mereka itu balasannya ialah ampunan dari Tuhan mereka dan surga yang di dalamnya mengalir sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya; dan Itulah sebaik-baik pahala orang-orang yang beramal.” (QS. Ali Imron : 135 – 136)

Didalam riwayat Thabrani dengan sanad hasan dari Abu ad Darda bahwa Nabi saw bersabda,”Barangsiapa yang berwudhu lalu membaguskan wudhunya lalu melaksanakan shalat dua rakaat atau empat rakaat, baik ia shalat wajib atau yang bukan wajib dengan membaguskan ruku, sujudnya lalu memohon ampunan kepada Allah maka Allah akan mengampuninya.”

Intinya bahwa orang itu melakukan taubat dan memohon ampunan kepada Allah swt atas dosa yang telah dilakukannya setelah dia menuanaikan suatu shalat (shalat apa pun) baik setelah shalat-shalat fardhu atau sunnah.

Adapula yang mengatakan bahwa ketika seorang melakukan suatu dosa maka dia bisa mengambil air wudhu lalu shalat dua rakaat dan memohon ampunan kepada Allah swt, sebagaimana hadits Abu Bakar diatas. Adapun cara melakukan shalat ini adalah seperti halnya shalat sunnah lainnya.

Shalat Hajat


DR. Abdullah al Faqih, didalam fatwanya, Markaz Ad Da’wah no 1390 mengatakan bahwa telah disebutkan didalam riwayat Tirmidzi, Ibnu Majah serta yang lainnya dari hadits Abdullah bin Abi Aufa’ bahwa Nabi saw,”Barangsiapa yang mempunyai suatu keperluan kepada Allah atau kepada seseorang dari anak Adam hendaklah dia berwudhu dan membaguskan wudhunya kemudian melaksanakan shalat dua rakaat kemudian dia memuji Allah bershalawat atas Nabi kemudian berkata

لا إله إلا الله الحليم الكريم سبحان الله رب العرش العظيم الحمد لله رب العالمين أسألك موجبات رحمتك وعزائم مغفرتك والغنيمة من كل بر والسلامة من كل إثم لا تدع لي ذنبا إلا غفرته ولا هما إلا فرجته ولا حاجة هي لك رضا إلا قضيتها يا أرحم الراحمين

Didalam riwayat Ibnu Majah terdapat tambahan,”Kemudian dia meminta kepada Allah tentang urusan dunia dan akherat sekehendaknya maka sesungguhnya ia akan ditetapkan.”

Para ahli ilmu menamakan shalat diatas dengan shalat hajat. Para ahli ilmu berbeda pendapat didalam mengamalkan hadits ini dikarenakan perbedaan diantara mereka tentang keberadaan / kekuatan hadits tersebut.

Sebagian mereka berpendapat bahwa hadits itu tidak boleh diamalkan dikarenakan hadits itu tidak kokoh. Karena didalam sanadnya terdapat Faid bin Abdurahman al Kufiy yang meriwayatkan dari Abdullah bin Abi Aufa’, dan ia termasuk orang yang ditinggalkan haditsnya dikalangan mereka.

Sebagian ulama lainnya berpendapat bahwa hadits tersebut dapat diamalkan karena dua hal :

1. Karena hadits tersebut memiliki banyak jalan dan bukti yang saling menguatkan, sementara Faid menurut mereka adalah orang yang haditsnya dapat ditulis (diriwayatkan)

2. Hadits ini termsuk didalam keutamaan amal dan keutamaan amal dapat dengan menggunakan hadits yang lemah jika ia berada dibawah asas yang teguh dan tidak bertentangan dengan yang lebih shahih. DR. Abdullah Faqih lebih cenderung kepada pendapat yang kedua.

Adapun tentang cara-caranya telah disebutkan didalam hadits diatas. (Fatawa as Sabakah al Islamiyah juz II hal 182)

Shalat Tasbih


Para ulama telah berselisih pendapat tentang hukum shalat tasbih menjadi dua pendapat : pendapat pertama mengatakan bahwa ia adalah sunnah sedangkan pendapat yang kedua melarangnya. Perbedaan pendapat mereka disebabkan perbedaan mereka pula terhadap keshahihan hadits yang berbicara tentang shalat ini.

Para ulama yang menshahihkannya mengatakan disunnahkannya shalat itu, diantara mereka adalah Daruquthniy, al Khatib al Baghdadiy, Abu Musa al Madaniy, Abu Bakar bin Abu Daud, Hakim, Suyuthi, al Hafizh Ibnu Hajar dan al Albaniy serta yang lainnya.

Sedangkan para ulama yang melemahkan hadits itu melarangnya, diantara mereka adalah Ibnul Jauziy, Sirojuddin al Qozwiniy, Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah, Imam Ahmad dan yang lainnya. Namun Ibnu Hajar mengatakan,”Aku mengatakan bahwa terdapat riwayat dari Ahmad bahwa dia menarik kembali hal itu (tentang kelemahan hadits itu).

Ali bin Said an Nasai mengatakan bahwa aku bertanya kepada Ahmad tentang shalat tasbih. Lalu dia (Ahmad) menjawab,”Aku melihat bahwa itu tidak sah sama sekali.” Aku mengatakan,”Al Mustamir bin ar Royan dari Abu al Jauzaa dari Abdullah bin ‘Amr.” Ahmad berkata,”Siapa yang telah berbicara kepadamu.” Aku menjawab,”Muslim bin Ibrahim.” Ahmad mengatakan,”Al Mustamir bisa dipercaya.”Tampaknya dia kaget. Penukilan dari Ahmad ini mengindikasikan bahwa beliau kembali kepada pendapat yang mensunnahkannya)

DR. Abdullah al Faqih memilih pendapat yang mensunnahkannya karena hadits itu diperkuat dari berbagai jalan dan bukti-bukti sehingga menjadikannya terangkat dan bisa dipakai sebagai hujjah. (Fatawa as Sabakah al Islamiyah juz III hal 605)

Ketiga shalat diatas—bagi mereka yang mengatakan sunnah—tidaklah terikat oleh waktu-waktu tertentu, artinya shalat-shalat itu bisa dilakukan kapan saja baik siang maupun malam kecuali pada waktu-waktu yang dilarang melakukan shalat, seperti : setelah shalat shubuh dan ashar, pada terbit dan terbenam matahari dan waktu istiwa (matahari benar-benar berada di posisi tengah hari) karena pada waktu-waktu ini terdapat perselisihan dikalangan ulama.

Wallahu A’lam

Wassalamualaikum wr wb... Selengkapnya...

Minggu, 19 Juni 2011

Ummi Ummi Ummi, Sungguh Mulia Engkau (Part 1)


Assalamualaikum Warahmatulahi wabarakatuh,
Alhamdulillah limpahan rahmat serta karunia allah masih mengalir untuk kita hambanya…
Pada Kesempatan ini saya akan berbagi tentang keutamaan seorang Ummi alias ibu.
Okay langsung saja kita mulai, bismillahirahmanirahim…



Kedudukan Kaum Perempuan
Agama Islam sangat memuliakan dan mengagungkan kedudukan kaum perempuan, dengan menyamakan mereka dengan kaum laki-laki dalam mayoritas hukum-hukum syariat, dalam kewajiban bertauhid kepada Allah, menyempurnakan keimanan, dalam pahala dan siksaan, serta keumuman anjuran dan larangan dalam Islam.

Allah Ta’ala berfirman,
{وَمَنْ يَعْمَلْ مِنَ الصَّالِحَاتِ مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَأُولَئِكَ يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ وَلا يُظْلَمُونَ نَقِيرًا}
“Barangsiapa yang mengerjakan amal-amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan sedang dia orang yang beriman, maka mereka itu akan masuk ke dalam surga dan mereka tidak dianiaya walau sedikitpun” (QS an-Nisaa’:124).

Dalam ayat lain Allah Ta’ala berfirman,
{مَنْ عَمِلَ صَالِحاً مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ}
“Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik (di dunia), dan sesungguhnya akan Kami berikan balasan kepada mereka (di akhirat) dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan” (QS an-Nahl:97)[1]).

Sebagaimana Islam juga sangat memperhatikan hak-hak kaum perempuan, dan mensyariatkan hukum-hukum yang agung untuk menjaga dan melindungi mereka[2]).
Syaikh Shaleh al-Fauzan berkata, “Wanita muslimah memiliki kedudukan (yang agung) dalam Islam, sehingga disandarkan kepadanya banyak tugas (yang mulia dalam Islam). Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu menyampaikan nasehat-nasehat yang khusus bagi kaum wanita[3]), bahkan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menyampaikan wasiat khusus tentang wanita dalam kutbah beliau di Arafah (ketika haji wada’)[4]). Ini semua menunjukkan wajibnya memberikan perhatian kepada kaum wanita di setiap waktu…[5]).


Tugas dan peran penting wanita
Agungnya tugas dan peran wanita ini terlihat jelas pada kedudukannya sebagai pendidik pertama dan utama generasi muda Islam, yang dengan memberikan bimbingan yang baik bagi mereka, berarti telah mengusahakan perbaikan besar bagi masyarakat dan umat Islam.
Syaikh Muhammad bin Shaleh al-Utsaimin berkata, “Sesungguhnya kaum wanita memiliki peran yang agung dan penting dalam upaya memperbaiki (kondisi) masyarakat, hal ini dikarenakan (upaya) memperbaiki (kondisi) masyarakat itu ditempuh dari dua sisi:

- Yang pertama: perbaikan (kondisi) di luar (rumah), yang dilakukan di pasar, mesjid dan tempat-tempat lainnya di luar (rumah). Yang perbaikan ini didominasi oleh kaum laki-laki, karena merekalah orang-orang yang beraktifitas di luar (rumah).

- Yang kedua: perbaikan di balik dinding (di dalam rumah), yang ini dilakukan di dalam rumah. Tugas (mulia) ini umumnya disandarkan kepada kaum wanita, karena merekalah pemimpin/pendidik di dalam rumah, sebagaimana firman Allah Ta’ala kepada istri-istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
{وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَى، وَأَقِمْنَ الصَّلَاةَ وَآَتِينَ الزَّكَاةَ وَأَطِعْنَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ، إِنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيُذْهِبَ عَنْكُمُ الرِّجْسَ أَهْلَ الْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيرًا}
“Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu, dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu, dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul bait, dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya” (QS al-Ahzaab:33).

Oleh karena itu, tidak salah kalau sekiranya kita mengatakan: bahwa sesungguhnya kebaikan separuh atau bahkan lebih dari (jumlah) masyarakat disandarkan kepada kaum wanita. Hal ini dikarenakan dua hal:

1. Jumlah kaum wanita sama dengan jumlah laki-laki, bahkan lebih banyak dari laki-laki. Ini berarti umat manusia yang terbanyak adalah kaum wanita, sebagaimana yang ditunjukkan dalam hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam…Berdasarkan semua ini, maka kaum wanita memiliki peran yang sangat besar dalam memperbaiki (kondisi) masyarakat.

2. Awal mula tumbuhnya generasi baru adalah dalam asuhan para wanita, yang ini semua menunjukkan mulianya tugas kaum wanita dalam (upaya) memperbaiki masyarakat[6]).
Makna inilah yang diungkapkan seorang penyair dalam bait syairnya:
الأم مدرسة إذا أعددتَها
أعددتَ شَعْباً طَيِّبَ الأعراق
Ibu adalah sebuah madrasah (tempat pendidikan) yang jika kamu menyiapkannya
Berarti kamu menyiapkan (lahirnya) sebuah masyarakat yang baik budi pekertinya[7])


Bagaimana seorang wanita mempersiapkan dirinya agar menjadi pendidik yang baik bagi anak-anaknya?
Agar seorang wanita berhasil mengemban tugas mulia ini, maka dia perlu menyiapkan dalam dirinya faktor-faktor yang sangat menentukan dalam hal ini, di antaranya:

1- Berusaha memperbaiki diri sendiri
Faktor ini sangat penting, karena bagaimana mungkin seorang ibu bisa mendidik anaknya menjadi orang yang baik, kalau dia sendiri tidak memiliki kebaikan tersebut dalam dirinya? Sebuah ungkapan Arab yang terkenal mengatakan:
فاقِدُ الشَّيْءِ لا يُعْطِيْهِ
“Sesuatu yang tidak punya tidak bisa memberikan apa-apa”[8]).
Maka kebaikan dan ketakwaan seorang pendidik sangat menetukan keberhasilannya dalam mengarahkan anak didiknya kepada kebaikan. Oleh karena itu, para ulama sangat menekankan kewajiban meneliti keadaan seorang yang akan dijadikan sebagai pendidik dalam agama.
Dalam sebuah ucapannya yang terkenal Imam Muhammad bin Sirin berkata: “Sesungguhnya ilmu (yang kamu pelajari) adalah agamamu (yang akan membimbingmu mencapai ketakwaan), maka telitilah dari siapa kamu mengambil (ilmu) agamamu”[9]).

Faktor penting inilah yang merupakan salah satu sebab utama yang menjadikan para sahabat Nabi menjadi generasi terbaik umat ini dalam pemahaman dan pengamalan agama mereka. Bagaimana tidak? Da’i dan pendidik mereka adalah Nabi yang terbaik dan manusia yang paling mulia di sisi Allah Ta’ala, yaitu Nabi kita Muhammad bin Abdillah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Makna inilah yang diisyaratkan oleh Allah Ta’ala dalam firman-Nya,
{وكيف تكفرون وأنتم تتلى عليكم آيات الله وفيكم رسوله}
“Bagaimana mungkin (baca: tidak mungkin) kalian (wahai para sahabat Nabi), (sampai) menjadi kafir, karena ayat-ayat Allah dibacakan kepada kalian, dan Rasul-Nya pun berada di tengah-tengah kalian (sebagai pembimbing)” (QS Ali ‘Imraan:101).

Contoh lain tentang peranan seorang pendidik yang baik adalah apa yang disebutkan dalam biografi salah seorang Imam besar dari kalangan tabi’in, Hasan bin Abil Hasan Al Bashri[10]), ketika Khalid bin Shafwan[11]) menerangkan sifat-sifat Hasan Al Bashri kepada Maslamah bin Abdul Malik[12]) dengan berkata: “Dia adalah orang yang paling sesuai antara apa yang disembunyikannya dengan apa yang ditampakkannya, paling sesuai ucapan dengan perbuatannya, kalau dia duduk di atas suatu urusan maka diapun berdiri di atas urusan tersebut…dan seterusnya”, setelah mendengar penjelasan tersebut Maslamah bin Abdul Malik berkata: “Cukuplah (keteranganmu), bagaimana mungkin suatu kaum akan tersesat (dalam agama mereka) kalau orang seperti ini (sifat-sifatnya) ada di tengah-tengah mereka?”[13]).
Oleh karena itulah, ketika seorang penceramah mengadu kepada Imam Muhammad bin Waasi’[14]) tentang sedikitnya pengaruh nasehat yang disampaikannya dalam merubah akhlak orang-orang yang diceramahinya, maka Muhammad bin Waasi’ berkata, “Wahai Fulan, menurut pandanganku, mereka ditimpa keadaan demikian (tidak terpengaruh dengan nasehat yang kamu sampaikan) tidak lain sebabnya adalah dari dirimu sendiri, sesungguhnya peringatan (nasehat) itu jika keluarnya (ikhlas) dari dalam hati maka (akan mudah) masuk ke dalam hati (orang yang mendengarnya)”[15]).

2- Menjadi teladan yang baik bagi anak-anak
Faktor ini sangat berhubungan erat dengan faktor yang pertama, yang perlu kami jelaskan tersendiri karena pentingnya.
Menampilkan teladan yang baik dalam sikap dan tingkah laku di depan anak didik termasuk metode pendidikan yang paling baik dan utama. Bahkan para ulama menjelaskan bahwa pengaruh yang ditimbulkan dari perbuatan dan tingkah laku yang langsung terlihat terkadang lebih besar dari pada pengaruh ucapan[16]).

Hal ini disebabkan jiwa manusia itu lebih mudah mengambil teladan dari contoh yang terlihat di hadapannya, dan menjadikannya lebih semangat dalam beramal serta bersegera dalam kebaikan[17]).
Oleh karena itulah, dalam banyak ayat al-Qur’an Allah Ta’ala menceritakan kisah-kisah para Nabi yang terdahulu, serta kuatnya kesabaran dan keteguhan mereka dalam mendakwahkan agama Allah Ta’ala, untuk meneguhkan hati Rasululah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dengan mengambil teladan yang baik dari mereka[18]).

Allah Ta’ala berfirman,
{وكلا نقص عليك من أنباء الرسل ما نثبت به فؤادك، وجاءك في هذه الحق وموعظة وذكرى للمؤمنين}
“Dan semua kisah para Rasul Kami ceritakan kepadamu, ialah kisah-kisah yang dengannya Kami teguhkan hatimu; dan dalam surat ini telah datang kepadamu kebenaran serta pengajaran dan peringatan bagi orang-orang yang beriman” (QS Hud:120).
Syaikh Bakr Abu Zaid, ketika menjelaskan pengaruh tingkah laku buruk seorang ibu dalam membentuk kepribadian buruk anaknya, beliau berkata,
“Jika seorang ibu tidak memakai hijab (pakaian yang menutup aurat), tidak menjaga kehormatan dirinya, sering keluar rumah (tanpa ada alasan yang dibenarkan agama), suka berdandan dengan menampakkan (kecantikannya di luar rumah), senang bergaul dengan kaum lelaki yang bukan mahramnya, dan lain sebagainya, maka ini (secara tidak langsung) merupakan pendidikan (yang berupa) praktek (nyata) bagi anaknya, untuk (mengarahkannya kepada) penyimpangan (akhlak) dan memalingkannya dari pendidikan baik yang membuahkan hasil yang terpuji, berupa (kesadaran untuk) memakai hijab (pakaian yang menutup aurat), menjaga kehormatan dan kesucian diri, serta (memiliki) rasa malu, inilah yang dinamakan dengan ‘pengajaran pada fitrah (manusia)’ “[19]).
Sehubungan dengan hal ini, imam Ibnul Jauzi membawakan sebuah ucapan seorang ulama salaf yang terkenal, Ibarahim al-Harbi[20]). Dari Muqatil bin Muhammad al-’Ataki, beliau berkata: Aku pernah hadir bersama ayah dan saudaraku menemui Abu Ishak Ibrahim al-Harbi, maka beliau bertanya kepada ayahku: “Mereka ini anak-anakmu?”. Ayahku menjawab: “Iya”. (Maka) beliau berkata (kepada ayahku): “Hati-hatilah! Jangan sampai mereka melihatmu melanggar larangan Allah, sehingga (wibawamu) jatuh di mata mereka”[21]).

3- Memilih metode pendidikan yang baik bagi anak
Syaikh Muhammad bin Shaleh al-’Utsaimin berkata, “Yang menentukan (keberhasilan) pembinaan anak, susah atau mudahnya, adalah kemudahan (taufik) dari Allah Ta’ala, dan jika seorang hamba bertakwa kepada Allah serta (berusaha) menempuh metode (pembinaan) yang sesuai dengan syariat Islam, maka Allah akan memudahkan urusannya (dalam mendidik anak), Allah Ta’ala berfirman,
{وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مِنْ أَمْرِهِ يُسْراً}
“Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan menjadikan baginya kemudahan dalam (semua) urusannya” (QS. ath-Thalaaq:4)[22]).
Termasuk metode pendidikan yang benar adalah membiasakan anak-anak sejak dini melaksanakan perintah Allah Ta’ala dan menjauhi larangan-Nya, sebelum mereka mencapai usia dewasa, agar mereka terbiasa dalam ketaatan.

Imam Ibnu Hajar al-’Asqalani ketika menjelaskan makna hadits yang shahih ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang Hasan bin ‘Ali memakan kurma sedekah, padahal waktu itu Hasan t masih kecil[23]), beliau menyebutkan di antara kandungan hadits ini adalah: bolehnya membawa anak kecil ke mesjid dan mendidik mereka dengan adab yang bermanfaat (bagi mereka), serta melarang mereka melakukan sesuatu yang membahayakan mereka sendiri, (yaitu dengan) melakukan hal-hal yang diharamkan (dalam agama), meskipun anak kecil belum dibebani kewajiban syariat, agar mereka terlatih melakukan kebaikan tersebut[24]).

Syaikh Bakr Abu Zaid berkata, “Termasuk (pembinaan) awal yang diharamkan (dalam Islam) adalah memakaikan pada anak-anak kecil pakaian yang menampakkan aurat, karena ini semua menjadikan mereka terbiasa dengan pakaian dan perhiasan tersebut (sampai dewasa), padahal pakaian tersebut menyerupai (pakaian orang-orang kafir), menampakkan aurat dan merusak kehormatan”[25]).
Syaikh Muhammad bin Shaleh al-Utsaimin ketika ditanya: apakah diperbolehkan bagi anak kecil, laki-laki maupun perempuan, untuk memakai pakaian pendek yang menampakkan pahanya? Beliau menjawab: “Sudah diketahui bahwa anak kecil yang umurnya dibawah tujuh tahun, tidak ada hukum (larangan menampakkan) bagi auratnya. Akan tetapi membiasakan anak-anak kecil memakai pakaian yang pendek danmenampakkan aurat (seperti) ini tentu akan membuat mereka mudah (terbiasa) membuka aurat nantinya (setelah dewasa). Bahkan bisa jadi seorang anak (setelah dewasa) tidak malu menampakkan pahanya, karena sejak kecil dia terbiasa menampakkannya dan tidak peduli dengannya… Maka menurut pandanganku anak-anak (harus) dilarang memakai pakaian (seperti) ini, meskipun mereka masih kecil, dan hendaknya mereka memakai pakaian yang sopan dan jauh dari (pakaian) yang dilarang (dalam agama)”[26]).
Seorang penyair mengungkapkan makna ini dalam bait syairnya:
Anak kecil itu akan tumbuh dewasa di atas apa yang terbiasa (didapatkannya) dari orang tuanya
Sesungguhnya di atas akarnyalah pohon itu akan tumbuh[27])
Senada dengan syair di atas, ada pepatah arab yang mengatakan:
“Barangsiapa yang ketika muda terbiasa melakukan sesuatu maka ketika tua pun dia akan terus melakukannya”[28]).

4- Kesungguhan dan keseriusan dalam mendidik anak
Syaikh Bakr Abu Zaid berkata: “Anak-anak adalah amanah (titipan Allah Ta’ala) kepada kedua orang tua atau orang yang bertanggungjawab atas urusan mereka. Maka syariat (Islam) mewajibkan mereka menunaikan amanah ini dengan mendidik mereka berdasarkan petunjuk (agama) Islam, serta mengajarkan kepada mereka hal-hal yang menjadi kewajiban mereka, dalam urusan agama maupun dunia. Kewajiban yang pertama (diajarkan kepada mereka) adalah: menanamkan ideologi (tentang) iman kepada Allah, para malaikat, kitab-kitab suci, para Rasul, hari akhirat, dan mengimani takdir Allah yang baik dan buruk, juga memperkokoh (pemahaman) tauhid yang murni dalam jiwa mereka, agar menyatu ke dalam relung hati mereka. Kemudian mengajarkan rukun-rukun Islam pada diri mereka, (selalu) menyuruh mereka mendirikan shalat, menjaga kejernihan sifat-sifat bawaan mereka (yang baik), menumbuhkan (pada) watak mereka akhlak yang mulia dan tingkah laku yang baik, serta menjaga mereka dari teman pergaulan dan pengaruh luar yang buruk.
Inilah rambu-rambu pendidikan (Islam) yang diketahui dalam agama ini secara pasti (oleh setiap muslim), yang karena pentingnya sehingga para ulama menulis kitab-kitab khusus (untuk menjelaskannya)…Bahkan (metode) pendidikan (seperti) ini adalah termasuk petunjuk para Nabi dan bimbingan orang-orang yang bertakwa (para ulama salaf)”[29]).
Lebih lanjut, syaikh Muhammad bin Shaleh al-Utsaimin menekankan pentingnya masalah ini dalam ucapan beliau: “Anak-anak pada masa awal pertumbuhan mereka, yang selalu bersama mereka adalah seorang ibu, maka jika sang ibu memiliki akhlak dan perhatian yang baik (kepada mereka), (tentu) mereka akan tumbuh dan berkembang (dengan) baik dalam asuhannya, dan ini akan memberikan dampak (positif) yang besar bagi perbaikan masyarakat (muslim).
Oleh karena itu, wajib bagi seorang wanita yang mempunyai anak, untuk memberikan perhatian (besar) kepada anaknya dan kepada (upaya) mendidiknya (dengan pendidikan yang baik). Kalau dia tidak mampu melakukannya seorang diri, maka dia bisa meminta tolong kepada suaminya atau orang yang bertanggung jawab atas urusan anak tersebut…

Dan tidak pantas seorang ibu (bersikap) pasrah dengan kenyataan (buruk yang ada), dengan mengatakan: “Orang lain sudah terbiasa melakukan (kesalahan dalam masalah) ini dan aku tidak bisa merubah (keadaan ini)”.
Karena kalau kita terus menerus pasrah dengan kenyataan (buruk ini), maka nantinya tidak akan ada perbaikan, sebab (dalam) perbaikan mesti ada (upaya) merubah yang buruk dengan cara yang baik, bahkan merubah yang (sudah) baik menjadi lebih baik (lagi), supaya semua keadaan kita (benar-benar) menjadi baik.

Di samping itu, (sikap) pasrah pada kenyataan (buruk yang ada) adalah hal yang tidak diperbolehkan dalam syariat Islam. Oleh karena itulah, ketika Allah mengutus Nabi kepada kaumnya yang berbuat syirik (bangsa Arab jahiliyyah), yang masing-masing mereka menyembah berhala, memutuskan hubungan kekeluargaan, berbuat aniaya dan melampaui batas terhadap orang lain tanpa alasan yang benar, (pada waktu itu) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak lantas (bersikap) pasrah (pada kenyataan yang ada), bahkan Allah sendiri tidak mengizinkan beliau (bersikap) pasrah pada kenyataan (buruk tersebut). Allah memerintahkan kepada beliau:
“Maka sampaikanlah (secara terang-terangan) segala apa yang diperintahkan (kepadamu) dan berpalinglah (jangan pedulikan) orang-orang yang musyrik” (QS al-Hijr:94)”[30]).

Semoga dapat bermanfaat dan membuat kita selalu menghormati ibu, wassalamualaikum Warahmatulahi wabarakatuh. Selengkapnya...